Beranda | Artikel
KENISCAYAAN YANG TERLUPAKAN
Selasa, 11 Oktober 2022

Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MA

Khutbah Jum’at di Masjid Agung Darussalam Purbalingga, 17 Jumada Tsaniyah 1435 / 18 April 2014

KHUTBAH PERTAMA:

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ”.

“يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً”.

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً”.

أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.

Jama’ah Jum’at rahimakumullah…

Tiada kata yang paling pantas kita senandungkan pada hari yang berbahagia ini melainkan kata-kata syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mencurahkan kenikmatan- kepada kita sehingga kita berkumpul dalam majelis ini. Kita realisasikan rasa syukur kita dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Kemudian tidak lupa kami wasiatkan kepada diri kami pribadi dan kepada jamaah semuanya, marilah kita tingkatkan kualitas iman dan taqwa kita, karena keimanan dan ketaqwaan merupakan sebaik-baik bekal menuju akhirat kelak.

Jama’ah Jum’at ‘azzakumullah

Saat mendengar namanya disebut, kebanyakan manusia akan merasa takut dan jeri.

Ketika mengingatnya, ada sebagian orang yang putus asa, namun tidak sedikit pula yang terpacu untuk mengumpulkan pahala.

Kedatangannya dirahasiakan oleh Allah tabaraka wa ta’ala dari siapapun juga.

Namun dia adalah sebuah keniscayaan yang pasti menghampiri setiap makhluk yang bernyawa.

Keniscayaan itu adalah kematian…

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Artinya: “Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Dan hanya pada hari kiamat sajalan diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya”. QS. Ali Imran (3): 185

Sidang Jum’at yang berbahagia…

Kehidupan seseorang di dunia ini dimulai dengan kelahirannya dari rahim sang ibu. Kemudian setelah ia hidup beberapa lama, iapun akan menemui sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Yakni kenyataan sebuah kematian yang akan menjemputnya.

Rutinitas kehidupan terkadang menyebabkan kita lupa pada kematian. Padahal, kematian itu adalah sebuah peristiwa besar yang pasti kita alami dan rasakan. Kematian adalah sunnatullah (sistem Allah) bagi setiap makhluk yang diberi-Nya kesempatan hidup di dunia ini, termasuk manusia.

Jika kematian itu adalah suatu keniscayaan yang pasti kita rasakan, maka mengapa kita seakan acuh-tak acuh saja padanya? Mengapa kita seakan melupakannya? Mengapa kesibukan menjalani kehidupan sementara di dunia ini, menyebabkan kita seakan tidak maksimal dalam menghadapi kematian?

Kesibukan kita dalam menjalani kehidupan sementara ini, benar-benar telah memalingkan hati dan pikiran kita dari satu peristiwa besar yang pasti menimpa diri kita semua. Buktinya, konsentrasi kita mengumpulkan harta, menambah jumlah tabungan di bank, mencari berbagai sumber uang untuk merancang dan membangun rumah di dunia dan berbagai kebutuhan hidup lainnya melebihi konsentrasi kita merancang kematian itu sendiri. Padahal kematian adalah suatu kepastian. Hampir setiap hari kita melihat kematian. Sedangkan kematian adalah penentu keberhasilan atau kegagalan dalam perjalanan panjang kita menuju Allah Tuhan Pencipta alam.

Para hadirin dan hadirat rahimakumullah..

Memang perjalanan menuju akhirat merupakan suatu perjalanan yang panjang. Suatu perjalanan yang banyak aral dan cobaan. Yang dalam menempuhnya kita memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit. Yaitu suatu perjalanan yang menentukan apakah kita termasuk penduduk surga atau neraka.

Perjalanan itu diawali dengan kematian yang akan menjemput kita, yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan kita dengan alam akhirat. Karena keagungan perjalanan ini, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam telah bersabda:

وَاللهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلبَكَيْتُمْ كَثِيرًا

Demi Allah, andai saja kalian mengetahui apa yang kuketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” HR. Bukhari dan Muslim

Maksudnya apabila kita mengenal keagungan Allah dan mengetahui berbagai kejadian dahsyat saat sakaratul maut, kematian, azab kubur dan peristiwa hari kiamat, berikut siksaan bagi para pendosa, niscaya kita akan sedikit tertawa dan banyak menangis.[1]

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“وَاْلأَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى”

Artinya: “Kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” QS. Al-A’la (87): 17.

Akan tetapi sering kali justru kita lupa akan perjalanan itu dan lebih memilih kehidupan dunia yang tidak ada nilainya di sisi Allah tabaraka wa ta’ala.

Jama’ah shalat Jum’at yang kami hormati…

Mengingat kematian adalah ibadah yang mendatangkan pahala. Karena itu Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam memotivasi kita untuk banyak-banyak mengingat kematian. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ” يَعْنِي: “الْمَوْتَ”.

“Sering-seringlah mengingat pemutus kenikmatan”. Maksud beliau adalah: “kematian”. HR. Tirmidzy dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban, al-Hakim, adz-Dzahaby dan al-Albany.

Saat Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam memotivasi ummatnya untuk memperbanyak mengingat kematian, tentu dikarenakan di balik itu banyak manfaat positif yang akan dipetik. Tidak mungkin kita diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang berefek negatif serta merugikan diri kita sendiri.

Di antara hikmah mengingat kematian yaitu:

Pertama: Membangkitkan gairah dan semangat hidup

Mungkin ada yang bertanya, bukankah orang yang mengingat kematian justru dia akan merasa lesu, lemah, mudah menyerah dan putus asa? Memang ungkapan ini mungkin ada benarnya dari satu sisi. Namun bagi seorang mukmin yang meyakini adanya alam akhirat, adanya hari pembalasan dan meyakini akan datangnya hari di mana nyawa akan berpisah dari badan, hal ini menjadikannya memiliki semangat yang membaja. Semangat yang menggelora supaya dapat menghadapi hari-hari tersebut. Dia berusaha mempersiapkan bekal yang sebaik-sebaiknya sebagai persiapan saat maut datang menjemput. Dia menabung untuk akhiratnya dengan melakukan amal-amal ketaatan. Dia berusaha mempersiapkan sebaik-baik bekal, dan bekal terbaik adalah takwa.

Allah ta’ala berfirman,

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ

Artinya: “Siapkanlah bekal. Karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.Dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”. QS. Al-Baqarah (2): 197.

Sungguh, hanya orang-orang cerdas cendikialah yang banyak mengingat mati dan menyiapkan bekal untuk mati. Sahabat yang mulia, putra dari sahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma mengabarkan, “Aku sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, siapakah mukmin yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka. “Siapakah mukmin yang paling cerdas?’, tanya lelaki itu lagi. Beliau menjawab,

“أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لَهُ اسْتِعْدَادًا قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ بِهِمْ. أُولَئِكَ مِنَ الأَكْيَاسِ”

“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya sebelum kedatangan kematian. Mereka itulah orang-orang yang cerdas”. HR. Al-Hakim dan dinilai sahih oleh adz-Dzahaby.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah…

Manfaat kedua: Menumbuhkan ketenangan dalam jiwa

Seorang mukmin meyakini bahwa kematian pasti datang. Bila telah tiba waktunya, maka tidak ada yang bisa menundanya atau memajukannya walaupun sedetik.

“وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ”

Artinya: “Setiap manusia telah ditetapkan ajalnya. Apabila ajal itu datang kepadanya, tidaklah dapat ditunda atau dimajukan sesaat pun”. QS. Al-A’raf (7): 34.

Tapi bagi orang yang tidak ingat kepada hari pembalasan, tidak memahami akan hakikat kematian, seringkali dihantui oleh berbagai rasa takut, takut ini dan takut itu, takut mati dan sebagainya. Terkadang ada orang yang mau makan, tapi merasa takut, takut kalau makanan itu ada racunnya. Kalau berjalan, naik mobil atau naik pesawat selalu dihantui rasa takut. Jangan-jangan mobilnya tabrakan, jangan-jangan pesawatnya meledak. Dan berbagai kekhawatiran lainnya.

Berbeda dengan seorang mukmin, hidupnya selalu pasrah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dia selalu sabar dan tenang dalam menjalani kehidupannya, dia yakin bahwa tidak ada yang menimpanya kecuali sesuatu yang telah digariskan oleh Allah. Dalam surat at-Taubah (9) ayat 51 ditegaskan,

“قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ”

Artinya: “Katakanlah, “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.”

Manfaat ketiga: Ringan menghadapi berbagai ujian duniawi

Siapapun yang hidup di dunia pasti akan mengalami ujian dan cobaan. Entah ujian ekonomi, rasa sedih, sakit, kecewa, galau dan lain sebagainya. Sedih karena ditinggal mati orang yang amat disayangi. Rasa sakit karena menderita penyakit berat yang menahun. Kecewa karena gagal meraih keuntungan duniawi dalam bisnis yang telah diprediksikan mendatangkan untung besar.

Orang yang beriman dalam menghadapi berbagai ujian tersebut akan bersikap tegar dan tidak mudah terombang-ambing oleh gelombang dahsyatnya musibah. Sebab dia sadar betul bahwa badai pasti berlalu. Dia juga meyakini bahwa segala pernak-pernik keindahan duniawi itu tidaklah akan dibawanya ke liang kubur.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

“مَا أَلْزَمَ عَبْدٌ قَلْبَهُ ذِكْرَ الْمَوْتِ إِلاَّ صَغُرَتِ الدُّنْيَا عِنْدَهُ وَهَانَ عَلَيْهِ جَمِيْعُ مَا فِيْهَا”.

“Tidaklah hati seorang hamba sering mengingat mati melainkan dunia terasa kecil dan tiada berarti baginya. Dan semua yang ada di atas dunia ini hina baginya.”

بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم، ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم، أقول قولي هذا وأستغفر الله لي ولكم ولكافة المسلمين من كل ذنب، فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.

KHUTBAH KEDUA:

الْحَمْدُ للهِ “غَافِرِ الذَّنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِلَيْهِ الْمَصِيرُ”، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ لاَ نِدَّ لَهُ سُبْحَانَهُ وَلاَ شَبِيْهَ وَلاَ مَثِيْلَ وَلاَ نَظِيْرَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْبَشِيْرُ النَّذِيْرُ وَالسِّرَاجُ الْمُنِيْرُ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَكُلِّ تَابِعٍ مُسْتَنِيْرٍ.

Sidang Jum’at yang kami hormati…

Itulah sekelumit tentang manfaat memperbanyak mengingat kematian. Namun, bagaimanakah cara mengatasi kelalaian dari penyakit lupa mati?

Sekurang-kurangnya ada 7 cara mengingat kematian, sebagaimana berikut ini;

Pertama: Meningkatkan pemahaman tentang kehidupan sesudah mati. Hal ini sesuai dengan firman Allah ta’ala,

وَلَلدَّارُ اْلأَخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ أَفَلاَ تَعْقِلُوْن”

Artinya: “Sesungguhnya kehidupan di akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Tidakkah kalian mengerti?”. QS. Al-An’am (6): 32.

Kedua: Meyakini bahwa dunia ini hanyalah tempat menanam kebajikan dan tempat persinggahan. Menanam benih-benih kebajikan sangat dianjurkan dalam Islam selagi kita hidup di dunia. Karena dengan demikian, kita akan berpeluang besar memanen kebajikan itu di akhirat nanti.

Ketiga: Menyadari bahwa kematian itu sangat dekat dengan kita, kapan pun dan di manapun, kematian pasti terjadi.

Keempat: Membiasakan untuk menjenguk orang sakit baik itu keluarga, tetangga maupun orang lain. Dan mendoakannya agar diberi kesembuhan.

Kelima: Bertakziah kepada yang ditimpa musibah kematian. Bisa pula dengan sukarela ikut mengurus, memandikan, menshalati jenazah dan mengantarnya sampai ke pemakaman.

Keenam: Mempersering berziarah kubur, utamanya adalah berziarah kepada sanak keluarga yang sudah mendahului kita. Sembari merenungkan bahwa kita pun akan menyusul para penghuni kuburan tersebut.

Ketujuh: Berusaha untuk selalu berdoa, agar pada saatnya, kita dijemput kematian yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala. Yang khusnul khatimah, terbebas dari azab kubur dan siksa api neraka. Memperbanyak dzikir dan doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam, dapat menjadi sarana bagi kita untuk mengingat kematian dan kehidupan sesudahnya.

Di antara doanya,

“اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ وَفِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَشَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ”

“Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan padamu dari azab kubur, azab neraka, fitnah kehidupan dan kematian serta kejahatan Dajal”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

Jadi, mengingat kematian haruslah menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian waktu kehidupan yang dijalani. Mengingat kematian tidak hanya sekedar mengingat, namun harus diikuti dengan amalan yang terus menerus dan sungguh-sungguh. Amalan untuk mempersiapkan kehidupan abadi di akhirat, yang hanya memiliki dua tempat yakni kebahagiaan (surga) dan penderitaan (neraka).

هذا؛ وصلوا وسلموا –رحمكم الله– على الصادق الأمين؛ كما أمركم بذلك مولاكم رب العالمين، فقال سبحانه: “إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً”.

اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد, اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد.

ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين

ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم

ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب

ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين. أقيموا الصلاة…

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, , 17 Jumada Tsaniyah 1435 / 18 April 2014



[1] Baca: Fath al-Bâry karya Ibn Hajar al-‘Asqalany (XI/388).


Artikel asli: https://tunasilmu.com/keniscayaan-yang-terlupakan/